Yang dikenal
oleh para mahasiswa sekarang yang belajar ilmu ekonomi dan bisnis adalah teori
yang dilahirkan oleh bangsa Eropa dan Amerika. Pertanyaan mendasar apakah
kejayaan Islam sampai akhir abad 19 tidak menyisakan sedikitpun
pemikiran-pemikiran berarti untuk umat manusia. John Maynard Keyness, Adam
Smith, Dalton dan lain-lain lebih lekat di benak mahasiswa. Setelah di kelas
kita semua mendengar bahwa ternyata hasil pemikiran ahli-ahli Islam
diduplikasi/dicopy paste oleh ilmuwan Barat dan Al Fanjari mengungkapkan
pemikiran jauh sebelum Adam Smith maka kesempatan ini kami mencoba melihat
pandangan Ibnu Taimiyah tentang konsop ekonomi.
a. Pandangan
Ibnu Taimiyah terhadap harga
Sikap Ibnu
Taimiyah berada antara dua larangan yang sama-sama ektrem yaitu secara absolut
melarang dan hak pemerintah mengatur harga tanpa syarat. Dalam menetapkan harga
tingkat tertinggi dan terendah bisa ditetapkan sehingga kepentingan dua pihak,
penjual dan pembeli yang terlindungi. Seluruh ahli figh sepakat bahwa seseorang
bisa dipaksa untuk menjual barang dagangan pada tingkat harga yang setara jika
secara hukum terikat untuk menjualnya. Para penimbun barang atau pemegang
monopoli terkena aturan ini. Rasulullah SAW menolak menetapkan harga sebab pada
waktu itu harga meningkat secara alamiah dan bukan karena pengaruh seseorang
(impersonal) atau rekayasa orang perorang.
Karena itu
tak bisa dikutip sebagai sebuah dukungan Rasulullah SAW atas peniadaan
pengawasan atas harga. Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga dalam beberapa
kasus. Ibnu Taimiyah tak menyukai kebijakan penetapan harga oleh pemerintah
jika kekuatan pasar yang kompetitif bekerja dengan baik dan bebas. Ia
merekomendasikan kebijakan penetapan harga (oleh pemerintah) dalam kasus
terjadinya monopoli dan ketidaksempurnaan mekanisme pasar.
Alasan yang
sama secara konsisten berlaku untuk kasus tenaga kerja dan jasa produksi
lainnya. Prinsip dasarnya tentang masalah itu adalah “jika penduduk
menginginkan kepuasan, para penjual harus menghasilkan barang dalam jumlah yang
cukup untuk kepentingan umum dan menawarkan produk mereka pada tingkat harga
normal. (al-thaman al-ma’ruf). Dalam keadaan seperti itu regulasi harga oleh
pemerintah tak diperlukan. Tetapi jika seluruh keinginan penduduk tak bisa
dipuasi tanpa memaksa harga yang adil (al-tas’ir al’adil), karenanya harga
harus diatur seadil-adilnya, tanpa akibat yang merugikan bagi setiap orang (la
wakasa wa la shatata).
b. Pandangan
Ibnu Taimiyah tentang hak milik
Menurut Ibnu
Taimiyah penggunaan hak milik itu memungkinkan sejauh tak bertentangan dengan
prinsip syariah. Hak milik adalah sebuah kekuatan yang didasari atas yariah
untuk menggunakan sebuah obyek tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan
tingkatnya. Misalnya sesekali kekuatan itu sangat lengkap sehingga pemilik
benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjamkan atau menghadiahkan
mewariskan atau menggunakan untuk tujuan produktif. Tetapi kekuatan itu tak
lengkap karena hak dari si pemilik itu terbatas.
Pembahasan
Ibnu Taimiyah tak dibatasi oleh hak milik pribadi, juga mencakup pemilikan oleh
hak milik pribadi juga mencakup pemilikan oleh masyarakat maupun negara. Dalam
soal ini pandangannya tentang karakteristik ekonominya sangat berbeda dan tak
ditemukan dalam pandangan para sarjana manapun.
Tentang hak milik individual, Ibnu Taimiyah secara sederhana menjelaskan secara rinci untuk kepentingan yang dibenarkan syariat. Seperti mengamankan pemilikan suatu barang yang terlantar karena tak memiliki pemilik jelas agar bisa dibudidayakan, pewarisan, penjualan dan sebagainya. Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya menggunakan secara produktif memindahkan dan melindunginya dari pemubaziran.
Tentang hak milik individual, Ibnu Taimiyah secara sederhana menjelaskan secara rinci untuk kepentingan yang dibenarkan syariat. Seperti mengamankan pemilikan suatu barang yang terlantar karena tak memiliki pemilik jelas agar bisa dibudidayakan, pewarisan, penjualan dan sebagainya. Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya menggunakan secara produktif memindahkan dan melindunginya dari pemubaziran.
Tetapi hak
tersebut mempunyai keterbatasan. Ia tak boleh menggunakannya secara
berhambur-hamburan, digunakan dengan semena-mena ataupun untuk tujuan
bermewah-mewahan. Dalam transaksi dilarang untuk menggunakan secara terlarang
antara lain pemalsuan, penipuan dan mencuri timbangan atau ukuran. Dalam
transaksi juga dilarang mengeksploitasi orang-orang yang sangat membutuhkan
misalnya dengan cara menimbun barang makanan di musim kekeringan. Menurut Ibnu
Taimiyah orang yang mengumpulkan hartanya berlebihan diibaratkan seperti kisah
Qarun. Dan setiap individu tak boleh menggunakan hak miliknya yang bisa
menimbulkan kerugian bagi tetangganya.
Tipe kedua
dari hak milik adalah pemilikan secara kolektif atau hak milik sosial. Ini
merupakan suatu obyek perhatian Ibnu Taimiyah.misalnya sebuah obyek bisa saja
dimiliki oleh dua atau lebih orang atau oleh organisasi ataupun asosiasi.
Banyak obyek tertentu dimiliki oleh masyarakat di sebuah wilayah khusus atau oleh
masyarakat seluruhnya. Hak pemilikan seperti itu biasanya diperlukan untuk
kepenting sosial.
Jika
kekayaan dimiliki oleh dua atau lebih orang mereka bisa saja menggunakannya
sesuai aturan yang mereka tetapkan bersama. Tada ada salah satu pihak dalam
kerjasama itu yang boleh disakiti atau dirugikan oleh yang lain. Jika salah
satu pasangan ingin mengembangkan harta bersam tersebut maka pihak yang lain
harus berkontribusi dan bekerjasama untuk itu.
Salah satu
contoh penyelesaian yang dianjurkan oleh Ibnu Taimiyah adalah diperbolehkannya
harta waqaf diganti dengan yang lain yang lebih bermanfaaat untuk mencapai
tujuan yang dimaksud oleh orang-orang yang disantuni. Pandangan ini tak secara
umum diterima oleh para ahli fiqh Islam. Barang hasil amal yang digunakan oleh
orang kaya dinyatakan tidak sah. Karena prinsip dilarangnya harta berputar
dikalangan orang-orang kaya serta bertentangan dengan prinsip distribusi
keadilan serta menutup jurang kesenjangan antara kaya dan miskin.
Kategori
ketiga adalah hak pemilikan oleh negara. Negara membutuhkan hak milik untuk
memperoleh pendapatan sumber-sumber penghasilan dan kekuasaan untuk
melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misalnya untuk menyelenggarakan
pendidikan, regenerasi moral, memelihara keadilan, memelihara hukum dan tatanan
yang secara umum melindungi seluruh kepentingan material dan spiritual daru
penduduk.
Menurut Ibnu
Taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat dan barang rampasan perang
(ghanimah). Selain itu untuk menambah kekayaan lainnya negara bisa memungut
pajak ketika dibutuhkan dan atau kebutuhannya meningkat. Barang yang hilang dan
tak berhasil ditemukan pemiliknya menjadi milik negara. Hal yang sama berlaku
bagi kekayaan yang tak bertuan, waqaf, hadiah dan pungutan denda, bisa
disebutkan sebagai sumber-sumber kekayaan negara.
c. Pandangan
Ibnu Taimiyah tentang riba
Ibnu
Taimiyah secara ringkas menganalisa larangan tentang riba dan dia mengatakan
bahwa “ praktek bunga/riba sangat jelas dilarang dalam Alquran dan tak ada
perbedaan pandangan diantara para penganut Islam tentang masalah ini. Juga
bunga itu dilarang karena menyengsarakan orang yang membutuhkan dan memperoleh
sejumlah milik dengan cara yang salah. Motif itu bisa ditemukan dalam seluruh
kontrak yang mengandung unsur riba.
Dalam hal
menganalisa pinjaman ia mengatakan kemungkinan peminjam menginvestasikan
uangnya dan menerima keuntungan hanya dilakukan perkiraan saja (amr mawhum)
karenanya bisa jadi bisa terwujud bisa juga tidak. Untuk menetapkan hitungn
lebih dari jumlah yang dipinjamkan melalui dasar perkiraan seperti itu
merupakan bentuk ketidakadilan dan eksploitasi (dharar). Basis ekonomi lainnya
dari larangan terhadap riba seperti itu adalah adanya fakta bahwa pemilik
kapital jauh dari berusaha dan menyandarkan pada pendapatan bunga. Ini sebabnya
ketika para peminjam uang memiliki kemungkinan memiliki keuntungan secara tunai
atau dari pembayaran yang tertunda ia akan menjaukan diri dari melakukan
kegiatan ekonomi lainnya dan tak siap memasuki sebuah perdagangan, bisnis dan
industri yang melibatkan resiko dan kerja keras. Ini berarti akan mengakhiri
kebaikan dan kesejahteraan umum (manafi al-nas). Padahal menurut fak
kesejahteraan umum bisa dicapai melalui kegiatan perdagangan, komersial,
manufaktur dan konstruksi.
Ibnu
Taimiyah menganjurkan konsep susunan masyarakat yang berpihak pada kaidah dan
nilai-nilai Islam, gambaran tersebut sebagai berikut:
ü Beriman kepada Allah Yang Esa, tiada tuhan selain
Allah, Al Khaliq dan pemelihara alam semesta. Dialah yang memberi manusia
aturan hidup yang menjamin kebaikan di dunia dan di akhirat (ma’ash wa ma’ad)
ü Kerjasama. Manusia tak bisa hidup tanpa ketergantungan dengan yang lain. Mereka perlu hidup bersama dan bekerjasama untuk meraih kesejahteraan yang maksimak dan menangkis kejahatan
Setiap anggota komunitasü Islam bukanlah sekedar manusia ekonomi, mereka juga harus mempunyai tujuan meraih ridha Allah melalui amaliah yang benar dan memberi pelayanan antar sesama manusia. Niat yang baik dan amal yang benar akan tumbuh subur ketika memperoleh respon positif dari sesama. Akhirnya berlomba-lomba dalam kebaikan akan memberikan keuntungan kepada semua pihak yang terlibat.
Kedermawanan dan perbuatan baik harusü ditumbuhkan dalam masyarakat. Masyarakat harus menghargai kebutuhan orang lain seperti penghargaannya terhadap kebutuhan diri sendiri. Pada sisi lain, nafsu terhadap uang dan kekikiran dalam segala hal adalah tercela. Hidup bermewah-mewah harus dihindari. Kebijakan yang paling baik adalah sikap tengah-tengah.
Di masyarakat, tidak boleh adaü monopoli, eksploitasi, penipuan atau transaksi yang mengandung riba. Kebaikan harus dikembangkan menjadi kebiasaan dan kejahatan harus dilarang. Negara harus berperan aktif bermain dalam kehidupan ekonomi. Juga harus melakukan intervensi jika kebebasan dirusak oleh penduduk yang tak mau memenuhi kewajiban-kewajiban mereka.
ü Kerjasama. Manusia tak bisa hidup tanpa ketergantungan dengan yang lain. Mereka perlu hidup bersama dan bekerjasama untuk meraih kesejahteraan yang maksimak dan menangkis kejahatan
Setiap anggota komunitasü Islam bukanlah sekedar manusia ekonomi, mereka juga harus mempunyai tujuan meraih ridha Allah melalui amaliah yang benar dan memberi pelayanan antar sesama manusia. Niat yang baik dan amal yang benar akan tumbuh subur ketika memperoleh respon positif dari sesama. Akhirnya berlomba-lomba dalam kebaikan akan memberikan keuntungan kepada semua pihak yang terlibat.
Kedermawanan dan perbuatan baik harusü ditumbuhkan dalam masyarakat. Masyarakat harus menghargai kebutuhan orang lain seperti penghargaannya terhadap kebutuhan diri sendiri. Pada sisi lain, nafsu terhadap uang dan kekikiran dalam segala hal adalah tercela. Hidup bermewah-mewah harus dihindari. Kebijakan yang paling baik adalah sikap tengah-tengah.
Di masyarakat, tidak boleh adaü monopoli, eksploitasi, penipuan atau transaksi yang mengandung riba. Kebaikan harus dikembangkan menjadi kebiasaan dan kejahatan harus dilarang. Negara harus berperan aktif bermain dalam kehidupan ekonomi. Juga harus melakukan intervensi jika kebebasan dirusak oleh penduduk yang tak mau memenuhi kewajiban-kewajiban mereka.
d. Pandangan
Ibnu Taimiyah tentang uang dan kebijakan moneter
Dalam
beberapa bagian bukunya yang berjudul Fatawa ia membahas masalah ekonomi yang
kemudian dikenal dengan hukum Gresham (Gresham adalah pedagang Inggris yang
hidup 2 abad sesudah Ibnu Taimiyah). Hukum tersebut menebutkan bahwa jika dua
buah mata uang koin memiliki nilai yang sama tetapi dibuat dari logam yang tak
sama nilainya (nilai intrinsiknya) maka uang yang nilai intrinsiknya rendah
akan menyingkirkan mata uang yang lainnya. Sedangkan mata uang yang nilai
intrinsiknya tinggi akan dilebur, ditimbun atau diekspor karena dianggap lebih
menguntungkan.
Dia
mengatakan bahwa athman (bentuk tunggalnya thaman adalah harga atau sesuatu
yang dibayarkan sebagai pengganti harga, misalnya uang) dimaksudkan sebagai
alat ukur dari suatu nilai benda (mi’yar al amwal) melalui uang itu sejumlah
benda (maqadir al amwal) diketahui nilainya dan dirinya tak bermaksud
menggunakannya untuk diri sendiri (dikonsumsi). Dari pernyataan tersebut
sangatlah jelas bahwa fungsi esensial dari uang adalah untuk mengukur nilai
suatu benda atau dibayarkan sebagai alat tukar sejumlah benda berbeda. Hal ini
mengisyaratkan uang sama sekali dilarang dipakai sebagai komoditi dan
diperjualbelikan.
e. Pandangan
Ibnu Taimiyah tentang kerjasama dan bentu-bentuk dari organisasi ekonomi
Islam
satu-satunya jalan hidup/agama yang memberikan nilai yang tinggi terhadap
aktivitas ekonomi. Hasil dari kegiatan ekonomi dihargai sebagai rahmat Allah
SWT. Beberapa ayat dibawah ini menggambarkan pemikiran tersebut:
Alquran
3:174
“maka, mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”
“maka, mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”
Alquran
24:22
“dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah”
“dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah”
Alquran
62:10
“apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kami di muka bumi dan carilah karunia Allah dan Ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”
“apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kami di muka bumi dan carilah karunia Allah dan Ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”
Alquran
73:20
‘Dia mengetahui bahwa akan ada diantara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah…”
‘Dia mengetahui bahwa akan ada diantara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah…”
Ibnu
Taimiyah membagi seluruh transaksi dan kegiatan ekonomi menjadi dua kategori :
• Transaksi
yang berpijak pada asas keadilan (al-tasarrufat al-adliyah), dibagi 2:
o Transaksi melalui pertukaran (al-mu’awadat)
o Transaksi melalui kerjasama (al-musyarakat)
o Transaksi melalui pertukaran (al-mu’awadat)
o Transaksi melalui kerjasama (al-musyarakat)
• Transaksi
yang berpijak pada asas kedermawanan dan manfaat (al-tasrrufat al-fadliyah)
juga dibagi 2 yakni:
o Kerjasama kepemilikan (syirkah al-‘amlak)
o Kerjasama dalam kontrak (syirkah al-‘uqud)
o Kerjasama kepemilikan (syirkah al-‘amlak)
o Kerjasama dalam kontrak (syirkah al-‘uqud)
Dia juga
menyebutkan lima bentuk kerjasama:
1. Kerjasama
permodalan dan tenaga kerja (syirkah al-‘inan). Dua orang atau lebih
mengumpulkan modal mereka lalu bekerja bersama-sama dan membagi hasil
keuntungan yang mereka perolah.
2. Kerjasama dalam tenaga kerja (syirkah al-aabdan). Sejumlah orang tukang bergabung menangani sebuah pekerjaan dan setuju untuk membagi penghasilan diantara meraka sendiri.
3. Kerjasama kredit (syirkah al-wujuh). Seseorang atau lebih dari anggota suatu organisasi mendapatkan barang secara kredit dan mereka kemudian menjualnya dan mereka sepakat membagi keuntungan yang diperolehnya.
4. Kerjasama komprehensif (syirkah al-mufawadah). Kerjasama dalam berbagai bentuk diatas sekaligus.
5. Kerjasama mudharabah (syirkah al-mudharabah). Salah satu pihak menyediakan modal sedangkan pihak lain menyediakan tenaganya.
2. Kerjasama dalam tenaga kerja (syirkah al-aabdan). Sejumlah orang tukang bergabung menangani sebuah pekerjaan dan setuju untuk membagi penghasilan diantara meraka sendiri.
3. Kerjasama kredit (syirkah al-wujuh). Seseorang atau lebih dari anggota suatu organisasi mendapatkan barang secara kredit dan mereka kemudian menjualnya dan mereka sepakat membagi keuntungan yang diperolehnya.
4. Kerjasama komprehensif (syirkah al-mufawadah). Kerjasama dalam berbagai bentuk diatas sekaligus.
5. Kerjasama mudharabah (syirkah al-mudharabah). Salah satu pihak menyediakan modal sedangkan pihak lain menyediakan tenaganya.
Hampir
keempat mazhab figh,khususnya Mazhab Hambali dan Hanafi pada prinsipnya
menerima bentuk-bentuk kerjasama itu dengan sedikit perbedaan pada detilnya.
Mazhab Syafii menyetujui syirkah al-inan dan syirkah al-mudharabah saja dan
menolak bentuk kerjasama lainnya. Mazhab Maliki sama dengan Syafii menerima dua
model tersebut dan secara tegas menolak syirkah al-wujuh.
Dia
menuliskan esensi dari kerjasama adalah terpeliharanya dan dilaksanakannya
keadilan. Basis utama dari bisnis dan kerjasama itu adalah keadilan dari kedua
belah pihak. Oleh karenanya yang bertentangan dengan keadilan misalnya salah
satu pihak menahan keuntungan atas sejumlah komoditas tertentu atas sejumlah
tertentu dari keuntungan itu untuk dirinya sendiri atau hanya satu pihak saja
yang menanggung beban kerugian.
Sebagian
pemikiran dari Ibnu Taimiyah diatas memberi gambaran begitu bergairahnya
(karena Allah ta’allah) para ahli Islam untuk memberikan panduan yang detail
bagi kegiatan ekonomi agar tidak menyimpang dari jalur yang digariskan oleh
Allah SWT. Keasyikan dan kenikmatan mengumpulkan harta sangat dijaga oleh norma
dan nilai-nilai Islam agar tidak menjadi Qarun dan bisa mencontoh Nabi Sulaiman
AS yang tetap terjaga hatinya kepada Allah semata. Mudah-mudah menjadi ibrah
bagi kami yang masih menuntut ilmu untuk menyempurnakan ikhtiar dan menetapkan
hati hanya kepada Allah semata.
Wallahu
a’lam bishawab
Penulis: Tatok Djoko Sudiarto
Penulis: Tatok Djoko Sudiarto
Daftar
Pustaka
Al-qur’anul
Karim
Chapra,
Umer, Sistem Moneter Islam, Tazkia Cendekia, Jakarta, 2000
Harahap,
Sofyan, Kerangka Teori dan Tujuan Akuntansi Syariah, Pustaka Quantum, Jakarta,
2008
Islahi, AA,
Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiah, Bina Ilmu, Surabaya, 1997
Khan, Fahim,
Islamic Economic Series – 19: Essay in Islamic Economic, The Islamic
Foundation, United Kingdom, 1995
Sumber :
http://www.mei-azzahra.com/
No comments:
Post a Comment