BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah pemikiran
ekonomi dalam Islam tidak perlu dimulai dengan diskusi tentang ekonomi isi
Alquran dan Sunnah. Ini harus dimulai dengan pandangan tentang isu-isu ekonomi
oleh sahabat Nabi dan generasi yang mengikuti mereka, tidak sedikit di antara
mereka adalah ahli hukum dari eminensia.
Pentingnya tugas yang
akan membuang banyak cahaya yang diperlukan pada bagaimana pikiran Islam
menanggapi perubahan kondisi ekonomi di berbagai daerah dari seluruh dunia
Islam. Kami sangat membutuhkan terang saja ini untuk bagan kita sendiri melalui
sejarah. Untuk berada di bawah ilusi yang bisa kita lakukan tanpa itu akan
meningkatkan bahaya perjalanan yang sudah sulit.
Maka dari itu, pada
makalah ini saya akan membahas tentang sejarah pemikiran ekonomi Ibnu Hazm
serta seluk beluk riwayat hidup beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Ibnu Hazm
Abu Muhammad Ali bin Hazm
(Ibnu Hazm), bernama lengkap Ali bin Muhammad bin Said bin Hazm bin Ghalib bin
Shalif bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin
Umayyah bin Abd. Syam al-Umawi. Lahir pada akhir bulan Ramadhan 384 H, di
daerah tenggara kota Cordova, Spanyol atau Andalusia pada saat itu. Sebelum
terbitnya matahari dan ketika sang imam telah selesai mengucapkan salam.
Bertepatan dengan 7 Nopember 994 M dalam buku lain disebutkan pada tahun 184 H
(994 M). Lahir di rumah ayahnya ketika jabatan menterinya sudah dijalani selama
tiga tahun pada masa pemerintahan al-Hajib al-Manshur. Kakeknya Yazid, adalah
orang pertama kali masuk Islam dari para kakeknya. Ia berasal dari Persia,
sedangkan Khalaf, kakeknya yang pertama kali masuk ke negeri Andalusia.
Sedangkan julukannya sAbu Muhammad dan beberapa karyanya ialah “Abu Muhammad”,
namun ia lebih dikenal dengan sebutan “Ibn Hazm”.[1] Ia berasal dari sebuah keluarga
bangsawan dan kaya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan
wazir administrasi pada masa pemerintahan Hijab al-Mansur Abu Amir Muhammad bin
Abu Amir al-Qanthani (w.192 H) dan Hajib Abdul malik al-mudzaffar (w. 399
H/1009 M).[2]
Sebagai putra seorang menteri, sudah
tentu proses pendidikan Ibnu hazm mendapat perhatian khusus. Para pelayan yang
bekerja di rumahnya, tidak hanya diberi tugas melayani dan mengurusi perihal
persoalan rumah tangga seperti biasanya, melainkan sebagian ada yang diserahi
tugas mengajar dan mendidik Ibnu hazm, seperti penuturan Ibnu
Hazm dalam Suwito dan Fauzan, sebagai berikut:
“Aku banyak bergaul dengan para wanita (pengasuh di
rumah) sehingga aku mengetahui segala seluk beluk dan rahasia mereka yang tidak
diketahui oleh orang lain, karena aku diasuh dan dididik di kamar mereka, hidu
dan besar di tengah-tengah mereka. Aku tidak pernah bergaul dengan pria kecuali
setelah usia remaja. Mereka, para pengasuh itulah yang mengajari aku menulis
dan membaca Al-Qur’an serta memperkenalkan berbagai macam syair.”
Dimungkinkan ibu Ibnu Hazm meninggal
saat ia masih kecil, namun dalam tradisi Arab, ia tidak pernah menyinggung
perihal ibunya, seperti halnya ia tidak pernah menyinggung perihal isterinya.
Ibnu Hazm memiliki semangat yang tinggi
dalam menuntut ilmu. Ia mempelajari berbagai bidang ilmu dan berguru kepada
banyak ulama. Ia belajar hadits, antar lain dari Ahmad Ibnu al-Jasur dan Abd
Rahman al-‘Azdi. Gurunya dibidang fikih antara lain, abdullah Ibnu Dahun,
seorang faqih Malikiah yang banyak memberikan fatwa di Cordova. Guru fiqh yang
berjasa membawa Ibnu Hazm kepada madzhab al-Zhahiri adalah Mas’ud
Ibnu Sulaiman Ibnu Maflah.
Ia memiliki banyak guru dan mempelaji
banyak ilmu. Ia juga menerima hadis, syari’ah, serta sastra dari para guru di
Cordova, karena saat itu daerah tersebut di penuhi oleh para ulama besar.
Setelah itu, Ibnu Hazm di serahkan
kepada Abu Ali al-Husain bin Ali al-Fasi, seorang ulama yang mengesankan
hatinya, baik dari segi ilmu, amaliah, maupun kewara’-annya. Di bawah bimbingan
gurunya ini, ia mulai menuntut ilmu secara intensif dengan menghadiri berbagai
majelis ilmiah, baik di bidang agama maupun umum. Ia belajar hadis untuk
pertama kalinya kepada Amir al-Jasur ketika berusia 16
tahun. Pada saat itu, hadis dan fiqih merupakan dua bidang ilmu yang berkaitan,
sehingga dapat dikatakan bahwa ibnu Hazm juga mempelajari fiqih di saat yang
sama.
Ada banyak karya dari Ibnu Hazm. Menurut
putranya, Abu Rafii al-Fadl, seperti dikutip Yaqut, karya Ibnu Hazm mencapai
jumlah sekitar 400 jilid setebal kurang lebih 80.000 halaman,[3] sesuatu yang tidak pernah dilakukan
oleh seorang tokoh di dunia Islam sebelum Ibnu Hazm kecuali Abu Ja’far
al-Thabari.
Karya tulis Ibnu Hazm bisa dibedakan ada
yang berbentuk buku seperti, al-Fashal, al-Muhalla dan al-Ihkam,
dan ada pula yang berbentuk risalah, karya kecil.[4] Karyanya meliputi bidang hukum,
logika, sejarah, etika, perbandingan agama dan teologi.[5]
B. Karir, Kondisi Sosial-Politik, dan Kecenderungan Madzhabnya
Dalam ketidakpastian politik, Ibnu Hazm mengikuti jejak ayahnya sebagai wazir
sebagai tiga periode, yakni pada masa Khalifah Abdurrahman IV al-Murtadha yang
menjadi pembantu Umayyah, pada masa Abdurrahman V al-Mustanshir, dan pada masa
Hisyam al-Mu’tad. Sepanjang hayatnya, Ibnu Hazm tidak hanya terlibat dalam
pekerjaan administrasi negara. Setelah situasi cukup aman, ia mulai
mengembangkan karirnya sebagai pengajar dan penulis hingga akhir hidupnya. Ibnu
Hazm wafat di desa Manta Lisham, dekat Sevilla.[6]
Tumbangnya Dinasti Umayyah dan kegagalan
di bidang politik tersebut menyadarkannya untuk kembali menekuni dunia keilmuan
secara lebih serius dan intensif hingga membawanya ke puncak keilmuan dan
mengukirkan diri dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Pada awalnya,
Ibnu Hazm menganut mazhab Maliki yang ketika itu merupakan mazhab mayoritas
dikawasan Andalusia dan Maghribi pada umumnya.
Dalam Perkembangan selanjutnya, Ibnu Hazm beralih ke mazhab Syafi’i.
Perpindahan ini agaknya merupakan bagian dari proses pembentukan dan masa
transisi kearah pencarian, pematangan diri, dan kemandirian pemikirannya.
Perpindahan tersebut memperlihatkan ketidak puasannya terhadap mazhab Maliki,
sikap ulama dan masyarakat dalam bertaklid kepada mazhab ini secara fanatik.
Kecenderungan Ibnu Hazm terhadap mazhab Zhahiri tampaknya terkait erat dengan
fenomena sosial politik dan keagamaan di Andalusia pada masa hidupnya. Krisis
politik yang berkepanjangan mengakibatkan runtuhnya kekhalifahan. Penyelewengan
dan kezaliman al-Muluk al-Thawaif berakar pada ketidak
tegasan pelaksanaan syariat Islam, bahkan cenderung meninggalkannya.
Sebagai fuqaha mazhab Maliki di Andalusia yang memegang
jabatan qadi menjadi kurang responsif, oportunistik, tunduk
pada kemauan politik, dan kebijakan hukum penguasa, meskipun jelas-jelas
menyimpang dari syariat. Mereka tidak lagi menjalankan tugas amar
ma’ruf nahi munkar dalam rangka mengontrol pengusaha dan berbagai
kekuatan sosial yang bersaing tidak sehat.
Mereka tampil dalam posisi yang lemah
dan defensif dalam menghadapi kebijakan pemerintah dan kekuatan yang lebih
dominan yang terkait dengan syariat serta berlindung di balik penggunaan ra’yi dalam
rangka mengamankan diri dari tekanan kezaliman penguasa yang menyeleweng itu.
Situasi Andalusia yang dipegang oleh para penguasa yang tidak cakap da lemah
mengundang kehadiran berbagai pihak lain yang bersaing dalam menanamkan
pengaruh untuk memperoleh legitimasi dalam memegang tampuk kekuasaan politik
yang sebenarnya.
Akibatknya, Khalifah hanya menjadi simbol yang tidak
berperan secara signifikan. Disamping itu, muncul intervensi kekuatan
non-muslim yang mengulurkan bantuan kekuatan kepada pihak yang dianggap
menginginkan bantuan tersebut. Bantuan tersebut sudah tentu disertai
persyaratan dan konsesi tertentu yang merugikan kaum muslimin. Kerjasama ini
dinilai Ibnu Hazm bertentangan dengan syariat Islam karena secara politis
memberi peluang kepada musuh untuk meruntuhkan Islam. Selanjutnya, muncul al-Muluk
al-Thawaif yang mempergunakan gelar Amirul Mukminin dan
gelar lainnya hanya layak bagi khalifah.Fuqaha Maliki tersebut
cenderung bersikap toleran terhadap penyimpangan mereka bahkan bersikap diam
ketika salah seorang dari mereka mengklaim dirinya sebagai khalifah keturunan
Bani Umayyah yang sebenarnya hanya seorang berkulit hitam yang berasal dari
Afrika.
Kondisi sosial dan politik yang sedemikian parah telah menempatkan qiyasdan istihsan sebagai
alat bagi timbulnya kolusi antara sebagian fuqaha dengan
penguasa dalam memberikan berbagai fatwa hukum yang berkaitan dengan realitas
kehidupan yang rusak.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Ibnu
Hazm memilih jalur untuk mengkaji hukum Islam mulai dari awal dengan kebebasan
berijtihad dan menola taklid. Menurutnya, ijtihad adalah kembali kepada al-Qur’an
dan hadis.Akibat sikapnya yang melawan arus itu, banyak diantara para fuqaha Maliki
yang membenci dan memusuhi Ibnu Hazm.
Sosok Ibnu Hazm adalah seorang pemikir
besar yang berasal dari suku Arab muslim. Ia telah membuktikan dirinya sebagai
sumber literatur, sejarahwan, filolog, retorik, qadi, filosuf, dan
teolog. Ia mampu menangkap dengtan cepat seluruh informasi mutakhir yang
membuatnya produktif, meluaskan pengajaran, menyebarkan bahasa Arab, dan
menyiapkan perangkat yang mendasari ilmu pengetahuan.
C. Faktor yang menyebabkan Ibnu Hazm berpengetahuan dan memiliki kepemimpinan
hingga menjadi pemikir besar adalah :
1. Berkepribadian baik. Hal ini sangat penting dalam membentuknya sebagai
seorang pemikir besar, kuat daya ingatnya, tajam dalam pemikiran dan bicaranya,
kuat pengamatannya dan daya analisisnya yang patut dihargai.
2. Keunggulan yang diperolehnya melalui pendidikan menyatu dengan semangatnya
dalam belajar dan merespon hal-hal yang aktual membentuk luas dan dalam
pengetahuannya.
3. Penguasaanya terhadap beberapa bahasa asing.
4. Lingkungan keluarga yang kondusif mempengaruhi perkembangan karirnya.
5. Aktif sebagai wazir dalam urusan publik dan administrasi, karir dalam
bidang politik dan militer ini membuatnya sangat tegas dan jelas dalam
pemikirannya.
D. Pemikiran Ekonomi Ibnu Hazm
Beberapa pemikirannya yang terkenal
dalam bidang Ekonomi antara lain[8] :
1. Masalah sewa tanah dan kaitannya dengan pemerataan kesempatan.
Sejalan dengan pendekatan zahirinya,
Ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan kesempatan berusaha dalam istinbat hukumnya
di bidang ekonomi, sehingga cenderung kepada prinsip-prinsip ekonomi sosial
Islami yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat banyak dan berlandaskan
keadilan sosial dan keseimbangan sesuai dengan petunjuk Al-qur’an dan Hadits.
Oleh karena itu, sebagian penulis kontemporer menyatakan sebagai perintis
ekonomi sosialis yang Islami. namun demikian, penilaian tersebut terlalu
berlebihan dan cenderung menarik-narik syariat Islam kepada suatu sistem
ekonomi kontemporer produk pemikiran Barat. Syariat Islam bukan merupakan
sistem sosialis yang menekankan kepemilikan kolektif sebagaimana pula bukan
pemikiran kaum kapitalis yang menekankan kepada kepemilikan individual.
Diantara pernyataan Ibnu Hazm berkenaan dengan sewa tanah adalah :
“Menyewakan tanah sama sekali tidak
diperbolehkan, baik untuk bercocok tanam, perkebunan, mendirikan bangunan,
ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka pendek, jangka panjang, maupun tanpa
batas waktu tertentu, baik dengan imbalan dinar maupun dirham. Bila hal ini
terjadi, hukum sewa-menyewa batal selamanya.”
Selanjutnya, Ibnu Hazm menyatakan :
“Dalam persoalan tanah, tidak boleh
dilakukan kecuali muzara’ah (penggarapan tanah) dengan sistem bagi hasil
produksinya atau mugharasah (kerjasama penanaman). Jika terdapat bangunan pada
tanah itu, banyak atau sedikit, bangunan itu boleh disewakan dan tanah itu ikut
pada bangunan tetapi tidak masuk dalam penyewaan sama sekali.”
Dengan pernyataan tersebut, Ibnu Hazm
memberikan tiga alternatif penggunaan tanah, yaitu:
a. Tanah dikerjakan atau digarap oleh pemiliknya sendiri,
b. Si pemilik mengizinkan orang lain menggarap tanah tanpa sewa.
c. Si pemilik memberikan kesempatan orang lain untuk menggarapnya dengan
bibit, alat, atau tenaga kerja yang berasal dari dirinya, kemudian si pemilik
memperoleh bagian dari hasilnya dengan persentasi tertentu sesuai kesepakatan.
Hal ini sebagaimana
telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan kaum Yahudi terhadap tanah Khaibar.
Dalam sistem ini, jika tanaman itu gagal, si penggarap tidak dibebani tanggung
jawab tertentu. Pandangan tersebut didasari pemahaman zahiriyahnya sebagai
berikut:
Dari Rafi’ bin Khudaij
r.a., ia berkata:
“Rasulullah
Saw melarang penyewaan tanah” (Riwayat Bukhari).[9]
Dari Jabir bin
Abdillah r.a., ia berkata:
“Rasulullah Saw
melarang pengambilan upah atau bagian tertentu dari tanah”. (Riwayat Muslim)
Dari Abu Hurairah
r.a., ia berkata:
Rasulullah Saw
bersabda: “Barangsiapa memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau
memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolak, tahanlah tanah tersebut”. (Riwayat Muslim)
Pandangan Ibnu Hazm
bertitik tolak dari status tanah sebagai barang yang tidak hancur (sil’ah
ghair istikhlakiyyat) yang pada umumnya peran hasil kerja dan kreasi
manusia tidak menonjol. Yang tampak ialah bahwa tanah itu merupakan ciptaan
Allah Swt dimana manusia tinggal memanfaatkannya dan mengklaim pemilikan dan
penguasaannya. Dengan demikian, kepemilikan tersebut tidak mutlak, tetapi
justru relatif selama ia memanfaatkannya.
Jika tidak
memanfaatkannya, ia harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkannya
sesuai dengan asas kepemilikan umum tanah sebagai ciptaan Allah Swt. Oleh
karena itu, menurut Ibnu Hazm, tanah tidak bisa disamakan dengan rumah atau
peralatan yang secara nyata merupakan hasil kerja dan jerih payah manusia untuk
membuatnya sehingga dapat disewakan.
2. Jaminan sosial bagi orang tak mampu
a. Pemenuhan kebutuhan pokok (Basic Needs) dan pengentasan kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan
empat pokok yang memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu: makanan, minuman,
pakaian, dan perlindungan (rumah). Makanan dan minuman harus dapat memenuhi
kesehatan dan energi. Pakaian harus dapat menutupi aurat dan melindungi
seseorang dari udara panas dan dingin serta hujan. Rumah harus dapat melindungi
seseorang dari berbagai cuaca dan juga memberikan tingkat kehidupan pribadi
yang layak.
Ibnu Hazm mengingatkan
bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan
lebih tinggi daripada pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan, karena terjadi
populasi yang meningkat cepat (akibat kelahiran dan migrasi). Kesenjangan yang
lebar antara si kaya dengan si miskin dapat menambah kesulitan saat keadaan
orang kaya mempengaruhi struktur administrasi, cita
rasa dan berbagai pengaruh lain, seperti kenaikan tingkat
harga dalam aktivitas ekonomi.
Berkenaan dengan harta
yang wajib dikeluarkan zakatnya, Ibnu Hazm memperluas jangkauan dan ruang
lingkup kewajiban sosial lain di luar zakat, yang wajib dipenuhi oleh orang
kaya sebagai bentuk kepedulian tanggung jawab sosial mereka terhadap orang
miskin, anak yatim, dan orang yang tidak mampu atau yang lemah secara ekonomi.
Salah satu pandangan Ibnu Hazm yang menarik dalam masalah ini adalah sebagai
berikut[10] :
“Orang-orang kaya
dari penduduk setiap negeri wajib menanggung kehidupan orang-orang fakir miskin
diantara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat
dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup
untuk mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi makanan dari bahan
makanan semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim padan panas yang
layak, dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas
matahari, dan pandangan orang-orang yang lalu lalang.”
b. Kewajiban mengeluarkan harta selain zakat
Mengenai adanya
kewajiban harta selain zakat merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh
fuqaha. Sebagian fuqaha menyatakan keberadaan kewajiban harta yang harus
dikeluarkan selain zakat. Pendapat ini dikemukakan oleh banyak sahabat dan
tabi’in, dan bukan merupakan sesuatu yang baru dalam fiqih Islam dan Ibnu Hazm
bukan orang pertama yang berpendapat demikian.
Sebagian fuqaha lain
menyatakan tidak ada kewajiban harta selain zakat. Harta yang dikeluarkan
selain zakat merupakan sedekah atau santunan yang disunnahkan. Pendapat kedua
ini masyhur dikalangan ulama fuqaha mutaakhirin, sehingga nyaris tidak dilenal
pendapat yang lain. Dalil yang dikemukakan oleh hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim, dan lainnya dari sahabat Thalhah r.a., ia berkata :
“Seorang
sahabat laki-laki dari penduduk Najd dengan rambut tergerai datang mengadap
Rosulullah saw. Suaranya terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak mudah
ditangkap. Setelah mendekati Rosulullah saw, ia bertanya tentang islam.
Kemudian Rosulullah saw menjawab “lima kali shalat dalam sehari semalam”. Ia
bertanya, “Apakah selain itu ada yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab,
“Tidak, kecuali kamu shalat sunnah.” Rasul berkata, “Dan berpuasa Ramadhan”. Ia
bertanya, “Apakah ada puasa yang lain yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab,
Tidak, kecuali kamu berpuasa sunnah”.
Kemudian Rasul menyebutkan zakat. Ia
bertanya, “Apakah ada kewajiban selain zakat?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali
kamu bersedekah sunnah”. Lantas laki-laki itu berbalik seraya berkata, “Aku
tudak akan menambahi ataupun menguranginya”. Rasulullah Saw bersabda, “Dia beruntung
jika jujur” atau “Dia masuk surga jika jujur”.
Hadits di atas menegaskan tidak ada kewajiban harta
selain zakat, akan tetapi sebenarnya harus dipahami dalam konteks kewajibannya
sama persis dengan zakat, yakni sebagai suatu kewajiban harta yang bersifat
periodik, penyebab kewajibannya melekat pada jenis dan jumlah harta itu sendiri
dengan ketentuan nisab dan kadar jumlah tertentu, tanpa memandang kondisi
orang-orang yang berhak menerimanya. Ini merupakan bentuk fardhu ain yang wajib
dipenuhi oleh seseorang yang memilki harta tertentu yang mencapai satu nisab,
meskipun tidak ada fakir miskin. Dalam kondisi normal, ia tidak dituntut lebih
daripada itu.
Sebenarnya perbedaan dari kedua pendapat tersebut
tidak bertolak belakang sama sekali. Kelompok pertama menyatakan sebagai
kewajiban kifai, dan kelompok kedua memandangnya sebagai sesuatu yang sangat
dianjurkan.
3. Zakat
Ibnu Hazm menekankan pada status zakat
sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam upaya
memberantas kemiskinan. Pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat memberikan
sanksi kepada orang yang tidak mau membayar zakat, sehingga orang mau
mengeluarkan zakatnya, baik secara suka rela maupun terpaksa. Jika ada yang
menolak zakat sebagai kewajiban, ia dianggap murtad. Dengan cara ini, hukuman
dapat dijatuhkan pada orang yang menolak kewajiban zakat, baik secara
tersembunyi maupun terang-terngan.
Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban
zakat tidak akan hilang. Seseorang yang harus mengeluarkan zakat dan yang belum
mengeluarkannya selama hayatnya harus dipenuhi kewajibannya itu dari hartanya,
sebab tidak mengeluarkan zakat berarti hutang terhadap Allah SWT. Hal ini
berbeda dengan pengeluaran pajak dalam pandangan konvensional yang jika tidak
dibayarkan berarti kredit macet bagi negara dalam periode waktu tertentu.
Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu tertentu.
4. Pajak
Ibnu Hazm sangat fokus terhadap faktor keadilan dalam
sistem pajak, sebelum segala sesuatunya diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan
kewajiban pajak harus dipertimbangkan secara cermat karena apapun kebutuhan
seseorang terhadap apa yang dikeluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan
jumlah pajak yang dikumpulkan. Hal ini mendiskusikan teori keuangan publik (public
finance) konvensional berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membayar
pajak. Besarnya nilai pajak tanah umumnya adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai
dengan kualitas tanah.
Ibnu Hazm sangat memperhatikan sistem
pengumpulan pajak secara alami. Dalam hal ini sikap kasar dan eksploitatif
dalam pengumpulan pajak harus dihindari. Pengumpulan pajak juga tidak boleh
melampui batas ketentuan syariah. Hilangnya para pembayar zakat berarti juga
hilangnya eksistensi suatu negara. Hal ini mungkin terjadi karena hilangnya
hasrat orang untuk membayar pajak sehingga mengurangi dukungan publik untuk
tegaknya kekuasaan pemerintah dan menurunnya pendapatan pajak potensial juga
mungkin muncul akibat terjadinya penyimpangan dan kecerobohan para petugas
pajak.
Penghimpunan administrasi pajak di Andalusia
pada masa Ibnu Hazm dikemukakan oleh S.M. Imamuddin[11] :
“Cabang departemen keuangan terendah
berada di pedesaan dan dikelola oleh seorang kepala devisi yang disebut amil.
Saat hasil panen tiba, ladang diawasi dan hasil produksinya diperhitungkan oleh
seorang petugas yang disebut ash-shar. Saat itu, ada mutaqabbil yang bertugas
mengumpulakan pajak dan kewajiban lain berkaitan dengan fiskal di wilayahnya. Untuk
mengawasi para petugas ini dari penipuan dan harga yang melebihi kewajiban
dilakukan pengawasan ketat, sehingga hal ini dilakukan, mereka akan ditangkap”.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Beberapa pemikiran ekonomi Ibnu Hazm
yang terkenal yaitu:
1. Masalah sewa tanah dan
kaitannya dengan pemerataan kesempatan.
Menurut Ibnu Hazm, Menyewakan tanah sama
sekali tidak diperbolehkan, baik untuk bercocok tanam, perkebunan, mendirikan
bangunan, ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka pendek, jangka panjang,
maupun tanpa batas waktu tertentu, baik dengan imbalan dinar maupun dirham.
Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewa batal selamanya.”
2. Jaminan sosial bagi
orang tak mampu
a. Pemenuhan kebutuhan pokok (Basic Needs) dan pengentasan kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan empat pokok yang
memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu: makanan, minuman, pakaian, dan
perlindungan (rumah).
Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan
selalu tumbuh dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan lebih tinggi
daripada pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan, karena terjadi populasi yang
meningkat cepat (akibat kelahiran dan migrasi).
b. Kewajiban mengeluarkan harta selain zakat
Harta yang dikeluarkan selain zakat
merupakan sedekah atau santunan yang disunnahkan.
3. Zakat
Ibnu Hazm menekankan pada status zakat
sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam upaya
memberantas kemiskinan. Asumsinya, tidak mengeluarkan zakat berarti hutang
terhadap Allah SWT.
4. Pajak
Ibnu Hazm sangat memperhatikan
sistem pengumpulan pajak secara alami. Dalam hal ini sikap kasar dan
eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari. Pengumpulan pajak juga
tidak boleh melampui batas ketentuan syariah. Hilangnya para pembayar zakat
berarti juga hilangnya eksistensi suatu negara. Besarnya nilai pajak tanah
umumnya adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai dengan kualitas tanah
Mummys Gold Casino - Mapyro
ReplyDeleteMummys Gold Casino in Tunica: Complete driving directions, 보령 출장샵 driving directions, 전주 출장샵 and reviews. 1xbet app Mummys Gold Hotel, 세종특별자치 출장마사지 Tunica Resorts, 김제 출장안마 MS 39530-2610.