Tuesday, May 19, 2015

MAKALAH PEMIKIRAN IBNU HAZM TENTANG EKONOMI ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah pemikiran ekonomi dalam Islam tidak perlu dimulai dengan diskusi tentang ekonomi isi Alquran dan Sunnah. Ini harus dimulai dengan pandangan tentang isu-isu ekonomi oleh sahabat Nabi dan generasi yang mengikuti mereka, tidak sedikit di antara mereka adalah ahli hukum dari eminensia.
Pentingnya tugas yang akan membuang banyak cahaya yang diperlukan pada bagaimana pikiran Islam menanggapi perubahan kondisi ekonomi di berbagai daerah dari seluruh dunia Islam. Kami sangat membutuhkan terang saja ini untuk bagan kita sendiri melalui sejarah. Untuk berada di bawah ilusi yang bisa kita lakukan tanpa itu akan meningkatkan bahaya perjalanan yang sudah sulit.
Maka dari itu, pada makalah ini saya akan membahas tentang sejarah pemikiran ekonomi Ibnu Hazm serta seluk beluk riwayat hidup beliau.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Riwayat Hidup Ibnu Hazm
Abu  Muhammad Ali bin Hazm (Ibnu Hazm), bernama lengkap Ali bin Muhammad bin Said bin Hazm bin Ghalib bin Shalif bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abd. Syam al-Umawi. Lahir pada akhir bulan Ramadhan 384 H, di daerah tenggara kota Cordova, Spanyol atau Andalusia pada saat itu. Sebelum terbitnya matahari dan ketika sang imam telah selesai mengucapkan salam. Bertepatan dengan 7 Nopember 994 M dalam buku lain disebutkan pada tahun 184 H (994 M). Lahir di rumah ayahnya ketika jabatan menterinya sudah dijalani selama tiga tahun pada masa pemerintahan al-Hajib al-Manshur. Kakeknya Yazid, adalah orang pertama kali masuk Islam dari para kakeknya. Ia berasal dari Persia, sedangkan Khalaf, kakeknya yang pertama kali masuk ke negeri Andalusia. Sedangkan julukannya sAbu Muhammad dan beberapa karyanya ialah “Abu Muhammad”, namun ia lebih dikenal dengan sebutan “Ibn Hazm”.[1] Ia berasal dari sebuah keluarga bangsawan dan kaya. Ayahnya adalah Abu Umar Ahmad, seorang keturunan Persia dan wazir administrasi pada masa pemerintahan Hijab al-Mansur Abu Amir Muhammad bin Abu Amir al-Qanthani (w.192 H) dan Hajib Abdul malik al-mudzaffar (w. 399 H/1009 M).[2]
Sebagai putra seorang menteri, sudah tentu proses pendidikan Ibnu hazm mendapat perhatian khusus. Para pelayan yang bekerja di rumahnya, tidak hanya diberi tugas melayani dan mengurusi perihal persoalan rumah tangga seperti biasanya, melainkan sebagian ada yang diserahi tugas mengajar dan mendidik Ibnu hazm, seperti penuturan Ibnu Hazm  dalam Suwito dan Fauzan, sebagai berikut:
Aku banyak bergaul dengan para wanita (pengasuh di rumah) sehingga aku mengetahui segala seluk beluk dan rahasia mereka yang tidak diketahui oleh orang lain, karena aku diasuh dan dididik di kamar mereka, hidu dan besar di tengah-tengah mereka. Aku tidak pernah bergaul dengan pria kecuali setelah usia remaja. Mereka, para pengasuh itulah yang mengajari aku menulis dan membaca Al-Qur’an serta memperkenalkan berbagai macam syair.”
Dimungkinkan ibu Ibnu Hazm meninggal saat ia masih kecil, namun dalam tradisi Arab, ia tidak pernah menyinggung perihal ibunya, seperti halnya ia tidak pernah menyinggung perihal isterinya.
Ibnu Hazm memiliki semangat yang tinggi dalam menuntut ilmu. Ia mempelajari berbagai bidang ilmu dan berguru kepada banyak ulama. Ia belajar hadits, antar lain dari Ahmad Ibnu al-Jasur dan Abd Rahman al-‘Azdi. Gurunya dibidang fikih antara lain, abdullah Ibnu Dahun, seorang faqih Malikiah yang banyak memberikan fatwa di Cordova. Guru fiqh yang berjasa membawa Ibnu Hazm  kepada madzhab al-Zhahiri adalah Mas’ud Ibnu Sulaiman Ibnu Maflah.
Ia memiliki banyak guru dan mempelaji banyak ilmu. Ia juga menerima hadis, syari’ah, serta sastra dari para guru di Cordova, karena saat itu daerah tersebut di penuhi oleh para ulama besar.
Setelah itu, Ibnu Hazm di serahkan kepada Abu Ali al-Husain bin Ali al-Fasi, seorang ulama yang mengesankan hatinya, baik dari segi ilmu, amaliah, maupun kewara’-annya. Di bawah bimbingan gurunya ini, ia mulai menuntut ilmu secara intensif dengan menghadiri berbagai majelis ilmiah, baik di bidang agama maupun umum. Ia belajar hadis untuk pertama kalinya kepada Amir al-Jasur ketika berusia 16 tahun. Pada saat itu, hadis dan fiqih merupakan dua bidang ilmu yang berkaitan, sehingga dapat dikatakan bahwa ibnu Hazm juga mempelajari fiqih di saat yang sama.
Ada banyak karya dari Ibnu Hazm. Menurut putranya, Abu Rafii al-Fadl, seperti dikutip Yaqut, karya Ibnu Hazm mencapai jumlah sekitar 400 jilid setebal kurang lebih 80.000 halaman,[3] sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh seorang tokoh di dunia Islam sebelum Ibnu Hazm kecuali Abu Ja’far al-Thabari.
Karya tulis Ibnu Hazm bisa dibedakan ada yang berbentuk buku seperti, al-Fashal, al-Muhalla dan al-Ihkam, dan ada pula yang berbentuk risalah, karya kecil.[4] Karyanya meliputi bidang hukum, logika, sejarah, etika, perbandingan agama dan teologi.[5]
B.       Karir, Kondisi Sosial-Politik, dan Kecenderungan Madzhabnya
            Dalam ketidakpastian politik, Ibnu Hazm mengikuti jejak ayahnya sebagai wazir sebagai tiga periode, yakni pada masa Khalifah Abdurrahman IV al-Murtadha yang menjadi pembantu Umayyah, pada masa Abdurrahman V al-Mustanshir, dan pada masa Hisyam al-Mu’tad. Sepanjang hayatnya, Ibnu Hazm tidak hanya terlibat dalam pekerjaan administrasi negara. Setelah situasi cukup aman, ia mulai mengembangkan karirnya sebagai pengajar dan penulis hingga akhir hidupnya. Ibnu Hazm wafat di desa Manta Lisham, dekat Sevilla.[6]
Tumbangnya Dinasti Umayyah dan kegagalan di bidang politik tersebut menyadarkannya untuk kembali menekuni dunia keilmuan secara lebih serius dan intensif hingga membawanya ke puncak keilmuan dan mengukirkan diri dalam sejarah perkembangan intelektual Islam. Pada awalnya, Ibnu Hazm menganut mazhab Maliki yang ketika itu merupakan mazhab mayoritas dikawasan Andalusia dan Maghribi pada umumnya.
            Dalam Perkembangan selanjutnya, Ibnu Hazm beralih ke mazhab Syafi’i. Perpindahan ini agaknya merupakan bagian dari proses pembentukan dan masa transisi kearah pencarian, pematangan diri, dan kemandirian pemikirannya. Perpindahan tersebut memperlihatkan ketidak puasannya terhadap mazhab Maliki, sikap ulama dan masyarakat dalam bertaklid kepada mazhab ini secara fanatik. Kecenderungan Ibnu Hazm terhadap mazhab Zhahiri tampaknya terkait erat dengan fenomena sosial politik dan keagamaan di Andalusia pada masa hidupnya. Krisis politik yang berkepanjangan mengakibatkan runtuhnya kekhalifahan. Penyelewengan dan kezaliman al-Muluk al-Thawaif  berakar pada ketidak tegasan pelaksanaan syariat Islam, bahkan cenderung meninggalkannya. Sebagai fuqaha mazhab Maliki di Andalusia yang memegang jabatan qadi menjadi kurang responsif, oportunistik, tunduk pada kemauan politik, dan kebijakan hukum penguasa, meskipun jelas-jelas menyimpang dari syariat. Mereka tidak lagi menjalankan tugas amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka mengontrol pengusaha dan berbagai kekuatan sosial yang bersaing tidak sehat.
Mereka tampil dalam posisi yang lemah dan defensif dalam menghadapi kebijakan pemerintah dan kekuatan yang lebih dominan yang terkait dengan syariat serta berlindung di balik penggunaan ra’yi dalam rangka mengamankan diri dari tekanan kezaliman penguasa yang menyeleweng itu.
            Situasi Andalusia yang dipegang oleh para penguasa yang tidak cakap da lemah mengundang kehadiran berbagai pihak lain yang bersaing dalam menanamkan pengaruh untuk memperoleh legitimasi dalam memegang tampuk kekuasaan politik yang sebenarnya.
Akibatknya, Khalifah hanya menjadi simbol yang tidak berperan secara signifikan. Disamping itu, muncul intervensi kekuatan non-muslim yang mengulurkan bantuan kekuatan kepada pihak yang dianggap menginginkan bantuan tersebut. Bantuan tersebut sudah tentu disertai persyaratan dan konsesi tertentu yang merugikan kaum muslimin. Kerjasama ini dinilai Ibnu Hazm bertentangan dengan syariat Islam karena secara politis memberi peluang kepada musuh untuk meruntuhkan Islam. Selanjutnya, muncul al-Muluk al-Thawaif yang mempergunakan gelar Amirul Mukminin dan gelar lainnya hanya layak bagi khalifah.Fuqaha Maliki tersebut cenderung bersikap toleran terhadap penyimpangan mereka bahkan bersikap diam ketika salah seorang dari mereka mengklaim dirinya sebagai khalifah keturunan Bani Umayyah yang sebenarnya hanya seorang berkulit hitam yang berasal dari Afrika.
            Kondisi sosial dan politik yang sedemikian parah telah menempatkan qiyasdan istihsan sebagai alat bagi timbulnya kolusi antara sebagian fuqaha dengan penguasa dalam memberikan berbagai fatwa hukum yang berkaitan dengan realitas kehidupan yang rusak.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Ibnu Hazm memilih jalur untuk mengkaji hukum Islam mulai dari awal dengan kebebasan berijtihad dan menola taklid. Menurutnya, ijtihad adalah kembali kepada al-Qur’an dan hadis.Akibat sikapnya yang melawan arus itu, banyak diantara para fuqaha Maliki yang membenci dan memusuhi Ibnu Hazm.
Sosok Ibnu Hazm adalah seorang pemikir besar yang berasal dari suku Arab muslim. Ia telah membuktikan dirinya sebagai sumber literatur, sejarahwan, filolog, retorik, qadi, filosuf, dan teolog. Ia mampu menangkap dengtan cepat seluruh informasi mutakhir yang membuatnya produktif, meluaskan pengajaran, menyebarkan bahasa Arab, dan menyiapkan perangkat yang mendasari ilmu pengetahuan.
C.      Faktor yang menyebabkan Ibnu Hazm berpengetahuan dan memiliki kepemimpinan hingga menjadi pemikir besar adalah :
1.      Berkepribadian baik. Hal ini sangat penting dalam membentuknya sebagai seorang pemikir besar, kuat daya ingatnya, tajam dalam pemikiran dan bicaranya, kuat pengamatannya dan daya analisisnya yang patut dihargai.
2.      Keunggulan yang diperolehnya melalui pendidikan menyatu dengan semangatnya dalam belajar dan merespon hal-hal yang aktual membentuk luas dan dalam pengetahuannya.
3.      Penguasaanya terhadap beberapa bahasa asing.
4.      Lingkungan keluarga yang kondusif mempengaruhi perkembangan karirnya.
5.      Aktif sebagai wazir dalam urusan publik dan administrasi, karir dalam bidang politik dan militer ini membuatnya sangat tegas dan jelas dalam pemikirannya.
6.      Jabatan yang dipegang memberikan pengaruh positif dalam pengembangan karirnya.[7]

D.      Pemikiran Ekonomi Ibnu Hazm
Beberapa pemikirannya yang terkenal dalam bidang Ekonomi antara lain[8] :
1.      Masalah sewa tanah dan kaitannya dengan pemerataan kesempatan.
Sejalan dengan pendekatan zahirinya, Ibnu Hazm mengemukakan konsep pemerataan kesempatan berusaha dalam istinbat hukumnya di bidang ekonomi, sehingga cenderung kepada prinsip-prinsip ekonomi sosial Islami yang mengarah kepada kesejahteraan masyarakat banyak dan berlandaskan keadilan sosial dan keseimbangan sesuai dengan petunjuk Al-qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, sebagian penulis kontemporer menyatakan sebagai perintis ekonomi sosialis yang Islami. namun demikian, penilaian tersebut terlalu berlebihan dan cenderung menarik-narik syariat Islam kepada suatu sistem ekonomi kontemporer produk pemikiran Barat. Syariat Islam bukan merupakan sistem sosialis yang menekankan kepemilikan kolektif sebagaimana pula bukan pemikiran kaum kapitalis yang menekankan kepada kepemilikan individual. Diantara pernyataan Ibnu Hazm berkenaan dengan sewa tanah adalah :
Menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan, baik untuk bercocok tanam, perkebunan, mendirikan bangunan, ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka pendek, jangka panjang, maupun tanpa batas waktu tertentu, baik dengan imbalan dinar maupun dirham. Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewa batal selamanya.”
Selanjutnya, Ibnu Hazm menyatakan :
Dalam persoalan tanah, tidak boleh dilakukan kecuali muzara’ah (penggarapan tanah) dengan sistem bagi hasil produksinya atau mugharasah (kerjasama penanaman). Jika terdapat bangunan pada tanah itu, banyak atau sedikit, bangunan itu boleh disewakan dan tanah itu ikut pada bangunan tetapi tidak masuk dalam penyewaan sama sekali.”
Dengan pernyataan tersebut, Ibnu Hazm memberikan tiga alternatif penggunaan tanah, yaitu:
a.       Tanah dikerjakan atau digarap oleh pemiliknya sendiri,
b.      Si pemilik mengizinkan orang lain menggarap tanah tanpa sewa.
c.       Si pemilik memberikan kesempatan orang lain untuk menggarapnya dengan bibit, alat, atau tenaga kerja yang berasal dari dirinya, kemudian si pemilik memperoleh bagian dari hasilnya dengan persentasi tertentu sesuai kesepakatan.
Hal ini sebagaimana telah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dengan kaum Yahudi terhadap tanah Khaibar. Dalam sistem ini, jika tanaman itu gagal, si penggarap tidak dibebani tanggung jawab tertentu. Pandangan tersebut didasari pemahaman zahiriyahnya sebagai berikut:
Dari Rafi’ bin Khudaij r.a., ia berkata:
 “Rasulullah Saw melarang penyewaan tanah” (Riwayat Bukhari).[9]
Dari Jabir bin Abdillah r.a., ia berkata:
“Rasulullah Saw melarang pengambilan upah atau bagian tertentu dari tanah”. (Riwayat Muslim)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata:
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya atau memberikannya kepada saudaranya. Jika ia menolak, tahanlah tanah tersebut”. (Riwayat Muslim)
Pandangan Ibnu Hazm bertitik tolak dari status tanah sebagai barang yang tidak hancur (sil’ah ghair istikhlakiyyat) yang pada umumnya peran hasil kerja dan kreasi manusia tidak menonjol. Yang tampak ialah bahwa tanah itu merupakan ciptaan Allah Swt dimana manusia tinggal memanfaatkannya dan mengklaim pemilikan dan penguasaannya. Dengan demikian, kepemilikan tersebut tidak mutlak, tetapi justru relatif selama ia memanfaatkannya.
Jika tidak memanfaatkannya, ia harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkannya sesuai dengan asas kepemilikan umum tanah sebagai ciptaan Allah Swt. Oleh karena itu, menurut Ibnu Hazm, tanah tidak bisa disamakan dengan rumah atau peralatan yang secara nyata merupakan hasil kerja dan jerih payah manusia untuk membuatnya sehingga dapat disewakan.
2.      Jaminan sosial bagi orang tak mampu
a.      Pemenuhan kebutuhan pokok (Basic Needs) dan pengentasan kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan empat pokok yang memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu: makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan (rumah). Makanan dan minuman harus dapat memenuhi kesehatan dan energi. Pakaian harus dapat menutupi aurat dan melindungi seseorang dari udara panas dan dingin serta hujan. Rumah harus dapat melindungi seseorang dari berbagai cuaca dan juga memberikan tingkat kehidupan pribadi yang layak.
Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan lebih tinggi daripada pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan, karena terjadi populasi yang meningkat cepat (akibat kelahiran dan migrasi). Kesenjangan yang lebar antara si kaya dengan si miskin dapat menambah kesulitan saat keadaan orang kaya mempengaruhi struktur administrasi, cita rasa    dan berbagai pengaruh lain, seperti kenaikan tingkat harga dalam aktivitas ekonomi.
Berkenaan dengan harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, Ibnu Hazm memperluas jangkauan dan ruang lingkup kewajiban sosial lain di luar zakat, yang wajib dipenuhi oleh orang kaya sebagai bentuk kepedulian tanggung jawab sosial mereka terhadap orang miskin, anak yatim, dan orang yang tidak mampu atau yang lemah secara ekonomi. Salah satu pandangan Ibnu Hazm yang menarik dalam masalah ini adalah sebagai berikut[10] :
Orang-orang kaya dari penduduk setiap negeri wajib menanggung kehidupan orang-orang fakir miskin diantara mereka. Pemerintah harus memaksakan hal ini terhadap mereka jika zakat dan harta kaum muslimin (bait al-mal) tidak cukup untuk mengatasinya. Orang fakir miskin itu harus diberi makanan dari bahan makanan semestinya, pakaian untuk musim dingin dan musim padan panas yang layak, dan tempat tinggal yang dapat melindungi mereka dari hujan, panas matahari, dan pandangan orang-orang yang lalu lalang.”
b.      Kewajiban mengeluarkan harta selain zakat
Mengenai adanya kewajiban harta selain zakat merupakan persoalan yang diperselisihkan oleh fuqaha. Sebagian fuqaha menyatakan keberadaan kewajiban harta yang harus dikeluarkan selain zakat. Pendapat ini dikemukakan oleh banyak sahabat dan tabi’in, dan bukan merupakan sesuatu yang baru dalam fiqih Islam dan Ibnu Hazm bukan orang pertama yang berpendapat demikian.
Sebagian fuqaha lain menyatakan tidak ada kewajiban harta selain zakat. Harta yang dikeluarkan selain zakat merupakan sedekah atau santunan yang disunnahkan. Pendapat kedua ini masyhur dikalangan ulama fuqaha mutaakhirin, sehingga nyaris tidak dilenal pendapat yang lain. Dalil yang dikemukakan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lainnya dari sahabat Thalhah r.a., ia berkata :
          “Seorang sahabat laki-laki dari penduduk Najd dengan rambut tergerai datang mengadap Rosulullah saw. Suaranya terdengar parau dan apa yang dikatakan tidak mudah ditangkap. Setelah mendekati Rosulullah saw, ia bertanya tentang islam. Kemudian Rosulullah saw menjawab “lima kali shalat dalam sehari semalam”. Ia bertanya, “Apakah selain itu ada yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu shalat sunnah.” Rasul berkata, “Dan berpuasa Ramadhan”. Ia bertanya, “Apakah ada puasa yang lain yang wajib bagi diriku?” Rasul menjawab, Tidak, kecuali kamu berpuasa sunnah”.
Kemudian Rasul menyebutkan zakat. Ia bertanya, “Apakah ada kewajiban selain zakat?” Rasul menjawab, “Tidak, kecuali kamu bersedekah sunnah”. Lantas laki-laki itu berbalik seraya berkata, “Aku tudak akan menambahi ataupun menguranginya”. Rasulullah Saw bersabda, “Dia beruntung jika jujur” atau “Dia masuk surga jika jujur”.
Hadits di atas menegaskan tidak ada kewajiban harta selain zakat, akan tetapi sebenarnya harus dipahami dalam konteks kewajibannya sama persis dengan zakat, yakni sebagai suatu kewajiban harta yang bersifat periodik, penyebab kewajibannya melekat pada jenis dan jumlah harta itu sendiri dengan ketentuan nisab dan kadar jumlah tertentu, tanpa memandang kondisi orang-orang yang berhak menerimanya. Ini merupakan bentuk fardhu ain yang wajib dipenuhi oleh seseorang yang memilki harta tertentu yang mencapai satu nisab, meskipun tidak ada fakir miskin. Dalam kondisi normal, ia tidak dituntut lebih daripada itu.
Sebenarnya perbedaan dari kedua pendapat tersebut tidak bertolak belakang sama sekali. Kelompok pertama menyatakan sebagai kewajiban kifai, dan kelompok kedua memandangnya sebagai sesuatu yang sangat dianjurkan.

3.      Zakat
Ibnu Hazm menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam upaya memberantas kemiskinan. Pemerintah sebagai pengumpul zakat dapat memberikan sanksi kepada orang yang tidak mau membayar zakat, sehingga orang mau mengeluarkan zakatnya, baik secara suka rela maupun terpaksa. Jika ada yang menolak zakat sebagai kewajiban, ia dianggap murtad. Dengan cara ini, hukuman dapat dijatuhkan pada orang yang menolak kewajiban zakat, baik secara tersembunyi maupun terang-terngan.
Ibnu Hazm menekankan bahwa kewajiban zakat tidak akan hilang. Seseorang yang harus mengeluarkan zakat dan yang belum mengeluarkannya selama hayatnya harus dipenuhi kewajibannya itu dari hartanya, sebab tidak mengeluarkan zakat berarti hutang terhadap Allah SWT. Hal ini berbeda dengan pengeluaran pajak dalam pandangan konvensional yang jika tidak dibayarkan berarti kredit macet bagi negara dalam periode waktu tertentu. Sedangkan kewajiban zakat tidak dibatasi periode waktu tertentu.
4.      Pajak
Ibnu Hazm sangat fokus terhadap faktor keadilan dalam sistem pajak, sebelum segala sesuatunya diatur, hasrat orang untuk mengeluarkan kewajiban pajak harus dipertimbangkan secara cermat karena apapun kebutuhan seseorang terhadap apa yang dikeluarkannya akan berpengaruh pada sistem dan jumlah pajak yang dikumpulkan. Hal ini mendiskusikan teori keuangan publik (public finance) konvensional berkaitan dengan kecenderungan orang untuk membayar pajak. Besarnya nilai pajak tanah umumnya adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai dengan kualitas tanah.

Ibnu Hazm sangat memperhatikan sistem pengumpulan pajak secara alami. Dalam hal ini sikap kasar dan eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari. Pengumpulan pajak juga tidak boleh melampui batas ketentuan syariah. Hilangnya para pembayar zakat berarti juga hilangnya eksistensi suatu negara. Hal ini mungkin terjadi karena hilangnya hasrat orang untuk membayar pajak sehingga mengurangi dukungan publik untuk tegaknya kekuasaan pemerintah dan menurunnya pendapatan pajak potensial juga mungkin muncul akibat terjadinya penyimpangan dan kecerobohan para petugas pajak.
Penghimpunan administrasi pajak di Andalusia pada masa Ibnu Hazm dikemukakan oleh S.M. Imamuddin[11] :
“Cabang departemen keuangan terendah berada di pedesaan dan dikelola oleh seorang kepala devisi yang disebut amil. Saat hasil panen tiba, ladang diawasi dan hasil produksinya diperhitungkan oleh seorang petugas yang disebut ash-shar. Saat itu, ada mutaqabbil yang bertugas mengumpulakan pajak dan kewajiban lain berkaitan dengan fiskal di wilayahnya. Untuk mengawasi para petugas ini dari penipuan dan harga yang melebihi kewajiban dilakukan pengawasan ketat, sehingga hal ini dilakukan, mereka akan ditangkap”.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Beberapa pemikiran ekonomi Ibnu Hazm yang terkenal yaitu:
1.    Masalah sewa tanah dan kaitannya dengan pemerataan kesempatan.
Menurut Ibnu Hazm, Menyewakan tanah sama sekali tidak diperbolehkan, baik untuk bercocok tanam, perkebunan, mendirikan bangunan, ataupun segala sesuatu, baik untuk jangka pendek, jangka panjang, maupun tanpa batas waktu tertentu, baik dengan imbalan dinar maupun dirham. Bila hal ini terjadi, hukum sewa-menyewa batal selamanya.”
2.    Jaminan sosial bagi orang tak mampu
a.        Pemenuhan kebutuhan pokok (Basic Needs) dan pengentasan kemiskinan
Ibnu Hazm menyebutkan empat pokok yang memenuhi standar kehidupan manusia, yaitu: makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan (rumah).
Ibnu Hazm mengingatkan bahwa kemiskinan selalu tumbuh dalam situasi tingkat konsumsi atau kebutuhan lebih tinggi daripada pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan, karena terjadi populasi yang meningkat cepat (akibat kelahiran dan migrasi).
b.      Kewajiban mengeluarkan harta selain zakat
Harta yang dikeluarkan selain zakat merupakan sedekah atau santunan yang disunnahkan.
3.    Zakat
Ibnu Hazm menekankan pada status zakat sebagai suatu kewajiban dan juga menekankan peranan harta dalam upaya memberantas kemiskinan. Asumsinya, tidak mengeluarkan zakat berarti hutang terhadap Allah SWT.

4.    Pajak
Ibnu Hazm sangat memperhatikan sistem pengumpulan pajak secara alami. Dalam hal ini sikap kasar dan eksploitatif dalam pengumpulan pajak harus dihindari. Pengumpulan pajak juga tidak boleh melampui batas ketentuan syariah. Hilangnya para pembayar zakat berarti juga hilangnya eksistensi suatu negara. Besarnya nilai pajak tanah umumnya adalah sebesar 1/6 atau 1/3 sesuai dengan kualitas tanah

PANDANGAN DAN KONSEP EKONOMI MENURUT IBNU TAIMIYAH



Yang dikenal oleh para mahasiswa sekarang yang belajar ilmu ekonomi dan bisnis adalah teori yang dilahirkan oleh bangsa Eropa dan Amerika. Pertanyaan mendasar apakah kejayaan Islam sampai akhir abad 19 tidak menyisakan sedikitpun pemikiran-pemikiran berarti untuk umat manusia. John Maynard Keyness, Adam Smith, Dalton dan lain-lain lebih lekat di benak mahasiswa. Setelah di kelas kita semua mendengar bahwa ternyata hasil pemikiran ahli-ahli Islam diduplikasi/dicopy paste oleh ilmuwan Barat dan Al Fanjari mengungkapkan pemikiran jauh sebelum Adam Smith maka kesempatan ini kami mencoba melihat pandangan Ibnu Taimiyah tentang konsop ekonomi.
a. Pandangan Ibnu Taimiyah terhadap harga
Sikap Ibnu Taimiyah berada antara dua larangan yang sama-sama ektrem yaitu secara absolut melarang dan hak pemerintah mengatur harga tanpa syarat. Dalam menetapkan harga tingkat tertinggi dan terendah bisa ditetapkan sehingga kepentingan dua pihak, penjual dan pembeli yang terlindungi. Seluruh ahli figh sepakat bahwa seseorang bisa dipaksa untuk menjual barang dagangan pada tingkat harga yang setara jika secara hukum terikat untuk menjualnya. Para penimbun barang atau pemegang monopoli terkena aturan ini. Rasulullah SAW menolak menetapkan harga sebab pada waktu itu harga meningkat secara alamiah dan bukan karena pengaruh seseorang (impersonal) atau rekayasa orang perorang.
Karena itu tak bisa dikutip sebagai sebuah dukungan Rasulullah SAW atas peniadaan pengawasan atas harga. Rasulullah SAW sendiri menetapkan harga dalam beberapa kasus. Ibnu Taimiyah tak menyukai kebijakan penetapan harga oleh pemerintah jika kekuatan pasar yang kompetitif bekerja dengan baik dan bebas. Ia merekomendasikan kebijakan penetapan harga (oleh pemerintah) dalam kasus terjadinya monopoli dan ketidaksempurnaan mekanisme pasar.
Alasan yang sama secara konsisten berlaku untuk kasus tenaga kerja dan jasa produksi lainnya. Prinsip dasarnya tentang masalah itu adalah “jika penduduk menginginkan kepuasan, para penjual harus menghasilkan barang dalam jumlah yang cukup untuk kepentingan umum dan menawarkan produk mereka pada tingkat harga normal. (al-thaman al-ma’ruf). Dalam keadaan seperti itu regulasi harga oleh pemerintah tak diperlukan. Tetapi jika seluruh keinginan penduduk tak bisa dipuasi tanpa memaksa harga yang adil (al-tas’ir al’adil), karenanya harga harus diatur seadil-adilnya, tanpa akibat yang merugikan bagi setiap orang (la wakasa wa la shatata).
b. Pandangan Ibnu Taimiyah tentang hak milik
Menurut Ibnu Taimiyah penggunaan hak milik itu memungkinkan sejauh tak bertentangan dengan prinsip syariah. Hak milik adalah sebuah kekuatan yang didasari atas yariah untuk menggunakan sebuah obyek tetapi kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatnya. Misalnya sesekali kekuatan itu sangat lengkap sehingga pemilik benda itu berhak menjual atau memberikan, meminjamkan atau menghadiahkan mewariskan atau menggunakan untuk tujuan produktif. Tetapi kekuatan itu tak lengkap karena hak dari si pemilik itu terbatas.
Pembahasan Ibnu Taimiyah tak dibatasi oleh hak milik pribadi, juga mencakup pemilikan oleh hak milik pribadi juga mencakup pemilikan oleh masyarakat maupun negara. Dalam soal ini pandangannya tentang karakteristik ekonominya sangat berbeda dan tak ditemukan dalam pandangan para sarjana manapun.
Tentang hak milik individual, Ibnu Taimiyah secara sederhana menjelaskan secara rinci untuk kepentingan yang dibenarkan syariat. Seperti mengamankan pemilikan suatu barang yang terlantar karena tak memiliki pemilik jelas agar bisa dibudidayakan, pewarisan, penjualan dan sebagainya. Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya menggunakan secara produktif memindahkan dan melindunginya dari pemubaziran.
Tetapi hak tersebut mempunyai keterbatasan. Ia tak boleh menggunakannya secara berhambur-hamburan, digunakan dengan semena-mena ataupun untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam transaksi dilarang untuk menggunakan secara terlarang antara lain pemalsuan, penipuan dan mencuri timbangan atau ukuran. Dalam transaksi juga dilarang mengeksploitasi orang-orang yang sangat membutuhkan misalnya dengan cara menimbun barang makanan di musim kekeringan. Menurut Ibnu Taimiyah orang yang mengumpulkan hartanya berlebihan diibaratkan seperti kisah Qarun. Dan setiap individu tak boleh menggunakan hak miliknya yang bisa menimbulkan kerugian bagi tetangganya.
Tipe kedua dari hak milik adalah pemilikan secara kolektif atau hak milik sosial. Ini merupakan suatu obyek perhatian Ibnu Taimiyah.misalnya sebuah obyek bisa saja dimiliki oleh dua atau lebih orang atau oleh organisasi ataupun asosiasi. Banyak obyek tertentu dimiliki oleh masyarakat di sebuah wilayah khusus atau oleh masyarakat seluruhnya. Hak pemilikan seperti itu biasanya diperlukan untuk kepenting sosial.
Jika kekayaan dimiliki oleh dua atau lebih orang mereka bisa saja menggunakannya sesuai aturan yang mereka tetapkan bersama. Tada ada salah satu pihak dalam kerjasama itu yang boleh disakiti atau dirugikan oleh yang lain. Jika salah satu pasangan ingin mengembangkan harta bersam tersebut maka pihak yang lain harus berkontribusi dan bekerjasama untuk itu.
Salah satu contoh penyelesaian yang dianjurkan oleh Ibnu Taimiyah adalah diperbolehkannya harta waqaf diganti dengan yang lain yang lebih bermanfaaat untuk mencapai tujuan yang dimaksud oleh orang-orang yang disantuni. Pandangan ini tak secara umum diterima oleh para ahli fiqh Islam. Barang hasil amal yang digunakan oleh orang kaya dinyatakan tidak sah. Karena prinsip dilarangnya harta berputar dikalangan orang-orang kaya serta bertentangan dengan prinsip distribusi keadilan serta menutup jurang kesenjangan antara kaya dan miskin.
Kategori ketiga adalah hak pemilikan oleh negara. Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan sumber-sumber penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misalnya untuk menyelenggarakan pendidikan, regenerasi moral, memelihara keadilan, memelihara hukum dan tatanan yang secara umum melindungi seluruh kepentingan material dan spiritual daru penduduk.
Menurut Ibnu Taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat dan barang rampasan perang (ghanimah). Selain itu untuk menambah kekayaan lainnya negara bisa memungut pajak ketika dibutuhkan dan atau kebutuhannya meningkat. Barang yang hilang dan tak berhasil ditemukan pemiliknya menjadi milik negara. Hal yang sama berlaku bagi kekayaan yang tak bertuan, waqaf, hadiah dan pungutan denda, bisa disebutkan sebagai sumber-sumber kekayaan negara.
c. Pandangan Ibnu Taimiyah tentang riba
Ibnu Taimiyah secara ringkas menganalisa larangan tentang riba dan dia mengatakan bahwa “ praktek bunga/riba sangat jelas dilarang dalam Alquran dan tak ada perbedaan pandangan diantara para penganut Islam tentang masalah ini. Juga bunga itu dilarang karena menyengsarakan orang yang membutuhkan dan memperoleh sejumlah milik dengan cara yang salah. Motif itu bisa ditemukan dalam seluruh kontrak yang mengandung unsur riba.
Dalam hal menganalisa pinjaman ia mengatakan kemungkinan peminjam menginvestasikan uangnya dan menerima keuntungan hanya dilakukan perkiraan saja (amr mawhum) karenanya bisa jadi bisa terwujud bisa juga tidak. Untuk menetapkan hitungn lebih dari jumlah yang dipinjamkan melalui dasar perkiraan seperti itu merupakan bentuk ketidakadilan dan eksploitasi (dharar). Basis ekonomi lainnya dari larangan terhadap riba seperti itu adalah adanya fakta bahwa pemilik kapital jauh dari berusaha dan menyandarkan pada pendapatan bunga. Ini sebabnya ketika para peminjam uang memiliki kemungkinan memiliki keuntungan secara tunai atau dari pembayaran yang tertunda ia akan menjaukan diri dari melakukan kegiatan ekonomi lainnya dan tak siap memasuki sebuah perdagangan, bisnis dan industri yang melibatkan resiko dan kerja keras. Ini berarti akan mengakhiri kebaikan dan kesejahteraan umum (manafi al-nas). Padahal menurut fak kesejahteraan umum bisa dicapai melalui kegiatan perdagangan, komersial, manufaktur dan konstruksi.
Ibnu Taimiyah menganjurkan konsep susunan masyarakat yang berpihak pada kaidah dan nilai-nilai Islam, gambaran tersebut sebagai berikut:
ü Beriman kepada Allah Yang Esa, tiada tuhan selain Allah, Al Khaliq dan pemelihara alam semesta. Dialah yang memberi manusia aturan hidup yang menjamin kebaikan di dunia dan di akhirat (ma’ash wa ma’ad)
ü Kerjasama. Manusia tak bisa hidup tanpa ketergantungan dengan yang lain. Mereka perlu hidup bersama dan bekerjasama untuk meraih kesejahteraan yang maksimak dan menangkis kejahatan
 Setiap anggota komunitas
ü Islam bukanlah sekedar manusia ekonomi, mereka juga harus mempunyai tujuan meraih ridha Allah melalui amaliah yang benar dan memberi pelayanan antar sesama manusia. Niat yang baik dan amal yang benar akan tumbuh subur ketika memperoleh respon positif dari sesama. Akhirnya berlomba-lomba dalam kebaikan akan memberikan keuntungan kepada semua pihak yang terlibat.
 Kedermawanan dan perbuatan baik harus
ü ditumbuhkan dalam masyarakat. Masyarakat harus menghargai kebutuhan orang lain seperti penghargaannya terhadap kebutuhan diri sendiri. Pada sisi lain, nafsu terhadap uang dan kekikiran dalam segala hal adalah tercela. Hidup bermewah-mewah harus dihindari. Kebijakan yang paling baik adalah sikap tengah-tengah.
 Di masyarakat, tidak boleh ada
ü monopoli, eksploitasi, penipuan atau transaksi yang mengandung riba. Kebaikan harus dikembangkan menjadi kebiasaan dan kejahatan harus dilarang. Negara harus berperan aktif bermain dalam kehidupan ekonomi. Juga harus melakukan intervensi jika kebebasan dirusak oleh penduduk yang tak mau memenuhi kewajiban-kewajiban mereka.
d. Pandangan Ibnu Taimiyah tentang uang dan kebijakan moneter
Dalam beberapa bagian bukunya yang berjudul Fatawa ia membahas masalah ekonomi yang kemudian dikenal dengan hukum Gresham (Gresham adalah pedagang Inggris yang hidup 2 abad sesudah Ibnu Taimiyah). Hukum tersebut menebutkan bahwa jika dua buah mata uang koin memiliki nilai yang sama tetapi dibuat dari logam yang tak sama nilainya (nilai intrinsiknya) maka uang yang nilai intrinsiknya rendah akan menyingkirkan mata uang yang lainnya. Sedangkan mata uang yang nilai intrinsiknya tinggi akan dilebur, ditimbun atau diekspor karena dianggap lebih menguntungkan.
Dia mengatakan bahwa athman (bentuk tunggalnya thaman adalah harga atau sesuatu yang dibayarkan sebagai pengganti harga, misalnya uang) dimaksudkan sebagai alat ukur dari suatu nilai benda (mi’yar al amwal) melalui uang itu sejumlah benda (maqadir al amwal) diketahui nilainya dan dirinya tak bermaksud menggunakannya untuk diri sendiri (dikonsumsi). Dari pernyataan tersebut sangatlah jelas bahwa fungsi esensial dari uang adalah untuk mengukur nilai suatu benda atau dibayarkan sebagai alat tukar sejumlah benda berbeda. Hal ini mengisyaratkan uang sama sekali dilarang dipakai sebagai komoditi dan diperjualbelikan.
e. Pandangan Ibnu Taimiyah tentang kerjasama dan bentu-bentuk dari organisasi ekonomi
Islam satu-satunya jalan hidup/agama yang memberikan nilai yang tinggi terhadap aktivitas ekonomi. Hasil dari kegiatan ekonomi dihargai sebagai rahmat Allah SWT. Beberapa ayat dibawah ini menggambarkan pemikiran tersebut:
Alquran 3:174
“maka, mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”
Alquran 24:22
“dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah”
Alquran 62:10
“apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kami di muka bumi dan carilah karunia Allah dan Ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung”
Alquran 73:20
‘Dia mengetahui bahwa akan ada diantara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah…”
Ibnu Taimiyah membagi seluruh transaksi dan kegiatan ekonomi menjadi dua kategori :
• Transaksi yang berpijak pada asas keadilan (al-tasarrufat al-adliyah), dibagi 2:
o Transaksi melalui pertukaran (al-mu’awadat)
o Transaksi melalui kerjasama (al-musyarakat)
• Transaksi yang berpijak pada asas kedermawanan dan manfaat (al-tasrrufat al-fadliyah) juga dibagi 2 yakni:
o Kerjasama kepemilikan (syirkah al-‘amlak)
o Kerjasama dalam kontrak (syirkah al-‘uqud)
Dia juga menyebutkan lima bentuk kerjasama:
1. Kerjasama permodalan dan tenaga kerja (syirkah al-‘inan). Dua orang atau lebih mengumpulkan modal mereka lalu bekerja bersama-sama dan membagi hasil keuntungan yang mereka perolah.
2. Kerjasama dalam tenaga kerja (syirkah al-aabdan). Sejumlah orang tukang bergabung menangani sebuah pekerjaan dan setuju untuk membagi penghasilan diantara meraka sendiri.
3. Kerjasama kredit (syirkah al-wujuh). Seseorang atau lebih dari anggota suatu organisasi mendapatkan barang secara kredit dan mereka kemudian menjualnya dan mereka sepakat membagi keuntungan yang diperolehnya.
4. Kerjasama komprehensif (syirkah al-mufawadah). Kerjasama dalam berbagai bentuk diatas sekaligus.
5. Kerjasama mudharabah (syirkah al-mudharabah). Salah satu pihak menyediakan modal sedangkan pihak lain menyediakan tenaganya.
Hampir keempat mazhab figh,khususnya Mazhab Hambali dan Hanafi pada prinsipnya menerima bentuk-bentuk kerjasama itu dengan sedikit perbedaan pada detilnya. Mazhab Syafii menyetujui syirkah al-inan dan syirkah al-mudharabah saja dan menolak bentuk kerjasama lainnya. Mazhab Maliki sama dengan Syafii menerima dua model tersebut dan secara tegas menolak syirkah al-wujuh.
Dia menuliskan esensi dari kerjasama adalah terpeliharanya dan dilaksanakannya keadilan. Basis utama dari bisnis dan kerjasama itu adalah keadilan dari kedua belah pihak. Oleh karenanya yang bertentangan dengan keadilan misalnya salah satu pihak menahan keuntungan atas sejumlah komoditas tertentu atas sejumlah tertentu dari keuntungan itu untuk dirinya sendiri atau hanya satu pihak saja yang menanggung beban kerugian.
Sebagian pemikiran dari Ibnu Taimiyah diatas memberi gambaran begitu bergairahnya (karena Allah ta’allah) para ahli Islam untuk memberikan panduan yang detail bagi kegiatan ekonomi agar tidak menyimpang dari jalur yang digariskan oleh Allah SWT. Keasyikan dan kenikmatan mengumpulkan harta sangat dijaga oleh norma dan nilai-nilai Islam agar tidak menjadi Qarun dan bisa mencontoh Nabi Sulaiman AS yang tetap terjaga hatinya kepada Allah semata. Mudah-mudah menjadi ibrah bagi kami yang masih menuntut ilmu untuk menyempurnakan ikhtiar dan menetapkan hati hanya kepada Allah semata.
Wallahu a’lam bishawab
Penulis: Tatok Djoko Sudiarto
Daftar Pustaka
Al-qur’anul Karim
Chapra, Umer, Sistem Moneter Islam, Tazkia Cendekia, Jakarta, 2000
Harahap, Sofyan, Kerangka Teori dan Tujuan Akuntansi Syariah, Pustaka Quantum, Jakarta, 2008
Islahi, AA, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiah, Bina Ilmu, Surabaya, 1997
Khan, Fahim, Islamic Economic Series – 19: Essay in Islamic Economic, The Islamic Foundation, United Kingdom, 1995
Sumber : http://www.mei-azzahra.com/